Rabu, 15 Januari 2014

Guru : Konsisten memberi keteladanan




Permasalahan pendidikan di Indonesia, semakin lama terasa pelik. Terobosan pemecahan masalah terkadang hanya menyelesaikan permasalahan cabang, bukan pada permasalahan substansialnya. Guru mempunyai peranan penting dalam perbaikan kualitas pendidikan. Sayangnya, tak semua guru memang benar-benar menjadi ‘guru’. Salah satu sumber permasalahan pendidikan adalah minimnya keteladanan yang diberikan guru kepada siswanya.
Saya tergelitik mendengar komentar salah seorang siswa yang melihat saya melepas sepatu ketika akan masuk kelas. “Bu, tidak perlu dilepas sepatunya. Ibu kan Guru”, ujarnya. “Lho, memangnya mengapa kalau guru tidak perlu melepas sepatu? Tidak adil dong ya. Kalian sudah susah payah membersihkan kelas tetapi HANYA guru yang diperbolehkan menginjakkan kakinya dilantai dengan sepatu, padahal guru tidak ikut membersihkan kelas. Sedangkan kalian menjaga kebersihannya dengan tidak menggunakan alas sepatu”, sahutku panjang lebar. Di cerita yang lain, ketika guru melihat sampah, dia hanya berteriak memanggil siswa dan menyuruhnya untuk mengambil dan membuang sampah. Guru tidak mencotohkan terlebih dahulu kepada siswanya.Guru hanya sering berkata ketika melihat sampah harus diambil dan dibuang. Tak bertindak, hanya sekedar berkata. Seringkali guru seakan-akan menjadi raja yang hanya menyuruh-nyuruh rakyatnya untuk bekerja. Pendidikan seperti ini tak akan membekas dan tak akan membentuk karakter siswa. Yang ada hanya menghasilkan pribadi siswa yang membuang sampah ketika ada guru didekatnya. Bukan membangun kesadaran siswa untuk membuang sampah dimanapun berada. Lain lagi hasilnya ketika proses pendidikan menggunakan cara memberi keteladanan. Karakter siswa akan terbentuk.
Keteladanan menjadi sangat penting dalam proses pendidikan. Jika Aa Gym pernah berkata jika ingin berubah maka harus memulai dari diri sendiri, mulai saat ini dan mulai dari yang terkecil. Permasalahan di Indonesia bisa jadi sangat besar dan luas tetapi kita bisa memperbaiki dari yang terkecil dan dari diri sendiri. Dan kita sebagai guru bisa memulainya dengan terus dan terus memberi keteladanan bagi siswa. Karena menjadi guru adalah konsistensi memberi keteladanan :)

Divaaaa.........



Sejak pertama masuk sekolah (27/11) saya sudah mengajar. Saat itu, saya menggantikan guru kelas 2 yang tidak masuk. Awalnya sempat kaget, karena pagi itu saya diajak kepala sekolah masuk dikelas 2, saya kira hanya akan dikenalkan kepada murid-murid tetapi ternyata beliau didepan kelas berkata bahwa saya yang akan mengajar hari ini. Nah lho, mengapa tidak bilang dari tadi pagi waktu masih dirumah atau ketika perjalanan menuju kelas. Setidaknya saya tidak tiba-tiba kaget berdiri di depan kelas. Well, show must go on! Semenjak hari itu, saya mengisi di kelas 2 dan mengajar di kelas 1,4,5, 6 di hari-hari berikutnya. Tanpa RPP dan tanpa persiapan. Setiap paginya saya menunggu lonceng masuk berbunyi dan melihat adakah guru yang tidak masuk hari ini. Dan pasti ada saja guru yang tidak masuk. Sangat disayangkan.
 Di pekan kedua saya mengajar kelas 1. Ada kejadian yang menggelikan. Dulu saya sangat menghindari dan berdoa untuk tidak dapat kebagian mengajar dikelas rendah. Ketika magang, saya terbebas dari kelas rendah, hanya mengajar kelas 5. Dan sekarang ketika penempatan, mungkin saya harus bisa mengajar kelas rendah dengan segala dinamikanya. Dan yang saya takuti, akhirnya terjadi juga dipekan ini. BAB di kelas. Oh ya Rabb.. “Bu, Diva berak di celana..bau busuk Bu” teriak salah seorang murid dan membuat seisi kelas menjadi tiba-tiba terdiam. Glek! (menelan ludah). Saya pun bergegas mendatangi tempat duduknya. “Kamu berak Nak?” tanyaku. “Tidak Bu” jawabnya dengan ekspresi yang sangat tegang seperti anak yang ketahuan mencuri. Walaupun dia jawab tidak, pastilah kita tahu mana yang jujur dan bohong. Terlihat dari sorot mata dan ekspresinya. Ya, mungkin karena takut ditertawakan teman-temannya. “Sini sayang, ikut Ibu ke kamar mandi” sahutku. Dengan ekspresi yang masih tegang, dia menjawab “Ndak Bu, saya ndak mau, saya ndak berak di celana kok Bu”. Nah lho. Teman-temannya berulang kali mengatakan “Bohong kamu, itu bau busuk dari celanamu”. Berulang kali saya bujuk untuk ke kamar mandi, dia tetap tidak mau. Sekali lagi, dia mungkin ingin menegaskan kepadaku kalau dia benar-benar tidak sedang berak di celana. Ya sudah, pasrahlah saya. Murid-murid yang sederetan dengannya  merasa terganggu dengan baunya dan akhirnya saya minta pindah ke deretan yang lain. Alhasil hanya tinggallah dia sendirian di deretannya dengan posisi berdiri dan ekspresi tegangnya sampai kita semua berdoa pulang! Di satu sisi saya merasa kasihan, tetapi saya juga menahan tawa. Hehe.. Nak, nak.. Aya ya wae..

23 tahun sudah!

Well, 23 tahun sudah (logat saya sudah mulai berubah,hoho). Banyak yang tidak ikhlas kalau saya (masih) 23 tahun. “Akhirnya ya Nis, kamu menyusul aku sama Mar’ah, 25 tahun”, suara dari seberang, Sumbawa Barat. Pasalnya, mereka juga baru milad beberapa hari yang lalu. “What? Tolong yah kak,,aku masih 23!”, sergapku. “Ihiirrr..yang menyamakan kedudukan.. 23!” SMS dari team leader. “Apa loe kate..tolong yah ente udah mau 24”, kataku sewot, hehe . “Kamu kok masih muda bangetzz, hiks hiks” pesan WA dari salah seorang anggota geng Puskom. Dan lain sebagainya.
Kenapa saya membuat tulisan ini? Kenapa kenapa kenapa. Karena saya benar-benar merasa bueeedaa dengan saya yang dulu (Ya iyalah, sekarang tambah kurus dan eksotis). Eh, bukan soal fisik,, tapi soal loncatan-loncatan hidup. Satu per satu mimpi ada dalam genggaman, hidup diperantauan, lebih bermanfaat, udah bebas finansial dari orang tua, hafalan bertambah, ibadah bertambah, dan loncatan-loncatan lain yang tidak dapat disebutkan disini. Mungkin bagi sebagian orang, itu menjadi hal yang biasa atau bahkan itu menjadi sesuatu yang terlambat di usia 23 tahun. Tapi, tidak ada yang terlambat untuk menjadi lebih baik bukan? Yang terpenting ridho Allah adalah tujuannya. Apapun dikatakan orang, istiqomah berubah harus tetap dilakukan.
 Allah, terima kasih atas segala pengalaman hidup yang telah Engkau ajarkan kepadaku. Manis, asam, asin, pahit, pedas. Putih, biru, pink, hitam, hijau, merah, abu-abu dan akhirnya putih lagi. Pelajaran yang sangat berharga untuk di sisa-sisa umurku nanti. Semoga Engkau selalu menjagaku, memberkahi setiap langkahku dan segera mempertemukanku dengan seseorang yang membantu menyemangatiku untuk membayar hutangku kepada Mu (eeeaaa).

Buku : Investasi Masa Depan



Buku menjadi tolak ukur dari kemajuan sebuah bangsa. Jika ketersediaan buku semakin banyak maka peradaban sebuah bangsa akan semakin maju pula. Tetapi permasalahannya adalah apakah buku yang banyak itu dibaca? Seberapa banyak buku yang sudah diaplikasikan? Sejauh mana pengaplikasiannya? Mungkin pertanyaan-pertanyaan itu selalu terngiang di kepala ketika kita melihat carut-marut permasalahan bangsa saat ini.
Indonesia sebagai negara berkembang masih berusaha meningkatkan minat baca di masyarakat dengan diiringi pertumbuhan industri perbukuan. Akan tetapi, buku-buku yang telah diterbitkan masih belum mencukupi dan tidak seimbang dengan jumlah pembacanya. Setiap tahunnya produksi buku di Indonesia sekitar 3.500 judul, sedangkan jumlah penduduk di Indonesia sekitar 210 juta jiwa. Masih sangat jauh dari angka yang diharapkan. Disisi yang lain, industri perbukuan memiliki permasalahan yang menimbulkan efek domino. Sistem pemasaran buku melibatkan tiga hal yaitu penerbit, distributor dan toko buku itu sendiri. Ketiga hal ini telah menciptkana perputaran yang berakibat apada bertambanhnya nilai jual buku, yang kemudian dirasakan mahal oleh konsumen dan akhirnya membuat konsumen berpikir berulang-ulang untuk membeli sebuah buku.
Tak jarang masyarakat di Indonesia lebih memilih untuk mencari buku gratis dengan cara mendownload e-booknya (jika tersedia) atau mengcopy buku. Peminat buku yang dicetak semakin turun, dan peminat buku yang tidak dicetak (soft file) justru semakin meningkat. Mereka lebih memilih untuk mendownload karena file atau materi yang diambil tidak mengeluarkan uang dan materi dapat didapat dimana dan kapan saja. Hal ini merupakan tamparan yang cukup keras bagi industri perbukuan. Oleh karena itu, perlu adanya kontribusi langsung maupun tak langsung guna mendukung perkembangan industri perbukuan tersebut.
Kontribusi yang dapat dilakukan salah satunya adalah dengan membiasakan diri untuk memiliki buku yang telah di cetak. Bagaimanapun juga, buku adalah investasi masa depan. Semakin banyak buku yang kita punya, maka semakin banyak pula investasi yang sudah kita tanam untuk hari esok. Buku yang kita punya dapat diturunkan kepada generasi selanjutnya untuk menghadapi tantangan masa depan. Kalaupun sudah mempunyai kebiasaan mendownload, maka harus berusaha untuk menabung sehingga dapat membeli buku versi cetaknya. Selain itu, dengan membeli buku tersebut merupakan wujud apresiasi kita terhadap sebuah karya. Tidak semua orang dapat menghasilkan buku yang dapat dinikmati banyak orang. Masih banyak yang belum bisa mengeluarkan gagasannya dalam bentuk tulisan. Oleh karena itu perlu adanya penghargaan dan terima kasih kita atas penyebaran ilmu yang telah dilakukan dengan membeli karyanya.
Penghargaan terhadap sebuah karya dapat juga dilakukan dengan cara sederhana yaitu memberi hadiah kepada teman-teman kita dengan sebuah buku. Selain dapat berkontribusi terhadap industri perbukuan karena meningkatkan penjualan buku, hal ini akan dapat meningkatkan minat baca buku. Semakin banyak orang yang membaca buku dan memberinya kepada orang lain maka semakin banyak pula ilmu yang tersebar, semakin banyak kebermanfaatan yang dapat diberikan kepada orang lain.
Menumbuhkan minta baca tidak hanya dengan menyuruh orang lain untuk membaca banyak buku, akan tetapi juga dapat dilakukan dengan menyediakan fasilitas adanya buku itu sendiri. Disetiap daerah di Indonesia pasti ada perpustakaan daerah. Akan tetapi kemudahan akses dan kenyamanannya masih kurang. Masih banyak masyarakat yang kurang memanfaatkan perpustakaan daerah, karena lokasinya jauh dan prosedur administrasi yang lebih ribet jika dibandingkan dengan peminjaman buku di sekolah atau kampus. Akan tetapi, banyak diantara pemuda Indonesia yang belajar merawat negerinya dengan melakukan langkah kecil di sekitar tempat tinggalnya dengan membangun taman baca bagi warga sekitar.
Selama ini taman baca dianggap menjadi solusi efektif dalam menanamkan budaya baca sejak dini. Dengan berbagai variasi program yang ditawarkan oleh taman baca diharapkan mampu membuat masyarakat merasa ketagihan untuk membaca buku. Sayangnya, pembangunan taman baca masih kurang banyak. Masih banyak daerah di Indonesia yang belum memiliki taman baca. Disisi yang lain, cukup miris jika disekitar sekolah dan kampus dipenuhi dengan tempat penyewaan komik dan novel tetapi buku yang berkualitas masih kurang. Oleh karena itu, mahasiswa SGI harus memberikan sumbangsihnya dalam hal tersebut. Hal ini dapat dilakukan dimulai dengan daerah terdekatnya, yaitu kosnya dan rumahnya.
 Sumbangsih yang dapat diberikan dari kaum terpelajar seperti pelajar, dosen dan mahasiswa untuk membangun industri perbukuan adalah membiasakan menulis dan mencoba mengirimkannya ke penerbit. Seharusnya, ilmu yang semakin banyak, semakin banyak pula tulisan yang dapat dihasilkan. Akan tetapi, budaya menulis di Indonesia juga masih kurang. Bagaimana bisa menulis jika budaya membaca masih kurang. Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran masing-masing diri untuk terus mengupgrade diri dalam hal membaca dan menulis, sehingga akan ada banyak karya yang dapat dipersembahkan untuk Indonesia. Membangun Indonesia dengan membaca, merawat Indonesia dengan menulis dan membina Indonesia dengan aksi nyata. 

Bogor, 23 Juli 2013
                                               

           


Masakan Ibu...

21 Agustus 2013
Hari ini hari ketiga di Asrama setelah liburan lebaran. Entah mengapa, setiap melihat menu makanan di asrama selalu terngiang kata-kata ibu. Setiap adek-adek saya pulang ke rumah untuk liburan, ibu selalu menyediakan makanan yang enak-enak. Ayah juga sering mengajak kami untuk makan di luar. Dulu saya berpikir bahwa itu karena ingin membuat senang adek-adek karena di pondok jarang makan enak,hoho. Sebenarnya kami yang dirumah pun jarang makan diluar, makanan di rumah juga sederhana tapi tetaplah enak :)
Apalagi tahun ini dirumah tinggal si kecil. Saya pembinaan di Bogor, adek saya yang pertama dan kedua di pondok. Alhasil rumah jadi tambah krik krik krik. Saya sudah menduga jika nanti saya pulang, pasti keluarga saya akan berfoya-foya. Dan benar saja, masakan ibu sangat wah setiap harinya, belum lagi ditambah ”jajan” di luar (makanan berat juga sih sebenarnya,hehe). Padahal formasi tahun ini tidak lengkap, adek saya yang kedua harus bermukim dipondok karena sudah kelas 5 (setara dengan kelas 2 SMA). Saya sempat komplain ke ibu “Bu, sudahlah, makanannya yang wajar aja, yang biasa ibu dan ayah makan, ini menghabiskan uang.” Seketika itu ibu langsung menjawab, “Gapapalah, yang penting kita bisa makan enak bareng-bareng. Kalaupun nanti uang ibu masih ada dan makan enak tetap aja rasanya ga enak karena ga bisa ngerasain makanan itu bareng-bareng kalian.” Nyeesss...terdiam..dan tentu saja membuat mata berkaca-kaca.
Ah, ibu...sekarang aku paham mengapa engkau selalu berbuat seperti itu. Ya, terkadang kita salah mengartikan keinginan ibu yang sederhana. Melihat kami tertawa bersama, melihat kami menghabiskan masakannya, melihat kami berebut mengambil hidangannya. Ia hanya ingin melihat hal-hal yang sangat ia rindukan, ia tidak pernah memikirkan apa yang akan mereka makan setelah kami pergi satu per satu. Hanya sederhana, tapi kita tak pernah memahaminya.